Pemalsuan surat adalah tindak pidana yang merugikan berbagai pihak serta dapat mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat. Kasus pemalsuan surat semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Tindakan ini dilakukan dengan berbagai motif, seperti untuk menipu, mengelabui pihak berwenang, atau memperoleh keuntungan ilegal. Dampak dari pemalsuan surat sangat serius, baik dari segi ekonomi maupun sosial, meliputi kerugian finansial dan kerusakan reputasi bagi institusi yang terlibat.

Tindak pidana pemalsuan surat itu terdiri dari tiga bagian yaitu:

  1. Pemalsuan surat dalam bentuk pokok, yaitu pemalsuan surat yang tidak memuat unsur yang memberatkan atau meringankan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 263 KUHP.
  2. Pemalsuan surat dalam bentuk yang memberatkan, artinya memuat unsur yang memberatkan sebagaimana diatur di dalam Pasal 264 KUHP dan Pasal 266 KUHP.
  3. Pemalsuan surat dalam bentuk yang meringankan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 267 ayat (1) KUHP dan Pasal 268 KUHP.

Menurut R. Soesilo, surat yang dapat dianggap sebagai pemalsuan adalah surat yang:

  1. Mampu memberikan hak tertentu, seperti ijazah, tiket masuk, surat saham, dan sebagainya;
  2. Mampu menciptakan perjanjian, seperti surat perjanjian utang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan lain-lain;
  3. Mampu memberikan pembebasan utang, seperti kuitansi atau surat serupa; atau
  4. Digunakan sebagai bukti suatu tindakan atau peristiwa, seperti akta kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain.

Sanksi Pidana Pemalsuan surat dalam bentuk pokok diatur di dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut: Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, sesuatu perikatan (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang atau dimaksudkan untuk membuktikan sesuatu kenyataan dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah surat itu benar maka dengan mempergunakan surat tersebut dapat menimbulkan sesuatu kerugian diancam dengan pidana penjara maksimum 6 (enam) tahun.

Sanksi Pidana Pemalsuan surat dalam bentuk yang memberatkan diatur di dalam Pasal 264 dan 266 KUHP.

Dalam Pasal 264 menyatakan bahwa orang yang bersalah melakukan pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (delapan) tahun. Pasal 264 ayat (1) dan ayat (2) KUHP adalah merupakan tindak pidana pemalsuan surat dengan unsur yang memberatkan, karena yang dipalsukan itu adalah surat-surat autentik sebagaimana disebut di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sedangkan Pasal 266 KUHP memberikan sanksi pada barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan yang palsu di dalam suatu akta autentik, yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut, dengan maksud untuk mempergunakannya, seolah-olah keterangan yang telah diberikan itu adalah sesuai dengan kebenaran dan apabila dari penggunaan akta tersebut dapat menimbulkan kerugian, dihukum dengan hukuman penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.