Perjanjian hutang piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Perjanjian hutang piutang dapat dijamin dengan harta benda milik si berhutang baik harta bergerak maupun tidak bergerak hal ini diatur dalam pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai berikut “Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.

Jaminan termasuk dalam hukum benda, secara teoritis, jaminan dibagi menjadi dua yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus dibagi lebih lanjut menjadi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Selanjutnya jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan benda bergerak dan benda tetap.
Jaminan benda bergerak dibagi menjadi gadai dan fidusia, sedangkan jaminan benda tetap dibagi menjadi hak tanggungan atas tanah, fidusia dan hak tanggungan bukan atas tanah.

Dalam pemberian pinjaman uang (utang) yang ada dalam suatu perjanjian utang piutang oleh kreditur kepada debitur dapat menimbulkan banyak resiko. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan utang. Resiko yang umumnya merugikan kreditur tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh pihak kreditur, sehingga dalam proses pemberian kredit diperlukan
keyakinan kreditur atas kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk membayar hutangnya sampai dengan lunas. Pengadaan jaminan sangat diperlukan dalam upaya meminimalisir wanprestasi.

Akan tetapi, sita pada barang jaminan milik tergugat, barang tidak dapat dialihkan tergugat kepada pihak ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela maka pelunasan utang atau ganti rugi diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang. Tujuan sita jaminan tersebut agar kebutuhan barang tetap terjamin nilai dan keberadaannya sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ada dua macam sita jaminan, yaitu:

  1. Sita conser vatoir, yaitu harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat. Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
  2. Sita revindicator, adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai/dipegang oleh tergugat. Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir berasal dari kata revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya. Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.

Dengan demikian dalam proses penyelesaian perkara wanprestasi dalam perjanjian hutang piutang, langkah yang harus dilakukan adalah kreditur mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri yang ditujukan kepada debitur atas dasar bahwa debitur telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian utang piutang. Jika dalam amar Putusan Pengadilan menyatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi, maka dengan adanya Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut kreditur barulah dapat melakukan eksekusi terhadap barang/benda yang dijadikan sebagai jaminan utang debitur.