Perlakuan yang sama di hadapan hukum berarti bahwa setiap warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas, harus diberikan kesempatan yang sama untuk menggunakan hak-haknya yang telah ditentukan oleh undang-undang, seperti hak untuk memperoleh penerjemah, hak untuk didengar dan dicatat segala keterangannya di tiap-tiap tahap peradilan pidana, hak untuk disidik oleh penyidik yang memiliki kemampuan memahami bahasa isyarat dan hak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak. Hukum melarang segala bentuk diskriminasi dan menjamin kepada semua orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain.

Tidak dipenuhinya hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum mengakibatkan pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif. Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengartikan perlakuan diskriminatif adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Hak atas perlakuan yang tidak diskriminatif sebagai kelanjutan dari hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi penyandang disabilitas dapat terwujud melalui pelaksanaan hak atas peradilan yang adil. Terdapat dua hal pokok yang merupakan inti dari hak ini. Pertama, peradilan yang efektif bagi penyandang disabilitas (Pasal 4 ayat (1) UN CPRD). Kedua, aparat penegak hukum dituntut untuk memiliki kemampuan yang terkait dengan hak-hak penyandang disabilitas (Pasal 13 ayat (2) UN CPRD).

Tindakan penyidik yang menolak untuk menyidik perkaran pidana karena korbannya adalah orang yang tidak mampu melihat (tunanetra), jelas melanggar hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hak untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif. sekalipun korbannya adalah tunanetra dan penyidik bersifat ragu untuk mempercayai keterangan atau laporan korban, penyidik wajib untuk melakukan penyidikan. Hal ini KUHAP sendiri memandang keterangan saksi korban hanya merupakan satu dari lima alat bukti yang diakui seperti keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Artinya, tanpa adanya keterangan saksi korban pun, penyidik tetap wajib menyidik perkara tersebut. Bukti berupa visum et repertum dari suatu rumah sakit bahwa saksi korban tunanetra memang telah diperkosa atau dicabuli, sudah cukup untuk melanjutkan proses penyidikan.

Dalam persidangan, tindakan hakim yang menolak kesaksian saksi korban tunanetra hanya karena tidak melihat juga merupakan pelanggaran terhadap hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif. Sekalipun saksi korban orang yang tidak bisa melihat karena penyandang disabilitas (Pasal 1 angka 26 KUHAP), hakim tetap berkewajiban untuk mendengar kesaksian saksi korban dan melakukan proses pembuktian dengan memperdengarkan suara terdakwa kepada saksi korban atau memperbolehkan saksi korban meraba wajah atau anggota tubuh terdakwa. Tujuannya adalah agar bisa diperoleh bukti bahwa memang terdakwa yang memperkosa atau mencabuli saksi korban.

Penyidik bisa disebut melanggar hak atas peradilan yang adil bila menolak membuat berita acara penyidikan terhadap saksi korban tunarungu atau tunawicara yang memberikan kesaksian melalui isyarat dan penyidik tidak memiliki kemampuan untuk itu. Pasal 13 ayat (2) UN CRPD sudah menegaskan perlunya penyidik memiliki kemampuan memahami bahasa isyarat agar akses pada keadilan dapat dipenuhi oleh tunarungu atau tunawicara. Penyidik sebenarnya bisa mendatangkan penerjemah agar fakta hukum menjadi terang dan agar keterangan saksi korban bisa dengan mudah dibuatkan BAP-nya oleh penyidik. Keberadaan penerjemah ini perlu dipertahankan hingga proses persidangan. Demikian juga hakim yang menolak keterangan saksi korban dengan alasan tidak bisa berbicara dan tidak bisa mendengar. Pasal 13 ayat (1) UN CRPD telah memberikan landasan normatif bagi hakim untuk menerima dan mengakui keterangan saksi korban yang disampaikan melalui bahasa isyarat atau tulisan. Apalagi Pasal 178 KUHAP juga sudah menentukan bahwa “jika saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan saksi itu”, dan “jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.” Dengan demikian, hambatan saksi korban yang tidak bisa memberikan keterangan di persidangan dengan bahasa lisan bisa diatasi dengan mendatangkan penerjemah baik yang sudah kenal dengan saksi atau penerjemah dari lembaga penerjemah independen.

Tindakan penyidik yang tidak mau atau enggan memproses penyidikan perkara pidana karena korbannya adalah orang yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (tunagrahita), juga melanggar hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif. Bila penyidik beralasan sulit menerima kesaksian orang yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata karena terkait dengan uraian secara rinci dan benar fakta hukum yang mendukung terjadinya kejahatan yang dilakukan pelaku, kesulitan itu sebenarnya bisa diatasi dengan mendatangkan ahli yang membantu agar fakta hukum yang disampaikan saksi korban menjadi terang dan tidak diragukan lagi keabsahannya.

Di persidangan tindakan hakim yang menganggap keterangan saksi tidak layak dijadikan sebagai alat bukti karena memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, padahal untuk menjadi saksi haruslah orang yang mampu mengingat dengan baik kejadian yang didengar, dilihat atau dialami, juga merupakan pelanggaran terhadap hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif. Tanpa melihat kesempurnaan berpikirnya, hakim dituntut untuk mendengarkan kesaksian saksi korban melalui perntara ahli. Ahli itulah nantinya yang akan menyampaikan keterangan-keterangan yang disampaikan saksi korban dengan bahasa dan pemahaman yang mudah dimengerti. Jika hakim membebaskan terdakwa hanya karena saksi korban memiliki kecerdasan di bawah rata-rata sehingga tidak bisa membuktikan bahwa terdakwalah pelakunya, hakim telah mengabaikan alat-alat bukti yang secara sah diakui KUHAP seperti keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Artinya, tanpa keterangan saksi korban pun, sekali lagi, hakim tetap bisa menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan sepanjang keberadaan alat bukti lain membuktikan terjadinya kejahatan yang dilakukan terdakwa.

Penyidik juga dikatakan melanggar hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum jika menolak kesaksian saksi korban dengan autism atau penyandang disabilitas psikososial lainnya hanya karena menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik dengan jawaban yang sama. Demikian juga tindakan hakim yang menolak keterangan saksi korban autism hanya karena lamban merespon pertanyaan-pertanyaan hakim. Agar hak ini tidak terlanggar, maka penyidik dan hakim perlu mendatangkan ahli untuk memperkuat dan meyakinkan mereka bahwa apa yang disampaikan oleh saksi korban adalah benar dan tidak diragukan lagi validitasnya.