Cara penyelesaian konflik di kasus perkebunan dilakukan secara berjenjang. Pada dasarnya kewenangan menangani konflik mengikuti kewenangan menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Sebagaimana diatur di dalamUU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, sebagaimana diatur oleh UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan penerbitan IUP Perkebunan yaitu:

  1. Bupati/Walikota untuk IUP yang areal kebunnya
    berada pada satu kabupaten/kota.
  2. Gubernur untuk IUP yang areal kebunnya berada
    di lintas kabupaten/kota.
  3. Menteri Pertanian untuk IUP yang areal
    kebunnya berada di lintas provinsi.

Pada umumnya konflik perkebunan ditangani pada level kabupaten/kota. Mengingat secara umum IUP Perkebunan dikeluarkan oleh Bupati, dengan
luasan tidak lebih dari 20.000 Ha. Di beberapa kabupaten telah memiliki instrument ataupun lembaga yang menangani konflik perkebunan yaitu
Tim Pembinanan Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K).

Penamaan/penyebutan tim berbeda-beda pada tiap kabupaten. TP3K merupakan tim lintas sektoral/dinas dimana dinas perkebunan dan kantor
pertanahan merupakan salah satu unsur penting di dalamnya. Hal ini terkait dengan kewenangan teknis perkebunan yang berada di dinas perkebunan, dan alas hak atas tanah yang berada di kantor pertanahan. Mekanisme negosiasi dan mediasi juga digunakan, meskipun diakui masih memerlukan
peningkatan kapasitas pengetahuan maupun teknik. Di level Kementerian Pertanian, khususnya Ditjen Perkebunan, saat ini sedang di bahas mekanisme mediasi penyelesaian konflik perkebunan (besar). Mekanisme tersebut akan diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian. Sejauh ini, draft peraturan Menteri tersebut masih dalam proses pembahasan.

Bagaimana proses penyelesaian konflik di Kementerian ESDM?

Strategi yang dikembangkan oleh Kementerian ESDM khususnya Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dalam penanganan konflik diatur sebagai
berikut:

Peradilan

Strategi: Upaya pidana, gugatan perdata, class action, legal standing NGO, sahabat peradilan.
Dasar pijakan: hukum negara.
Syarat yang harus dipenuhi:

  • Memahami aturan hukum negara.
  • Tersedianya orang yang mampu beracara di pengadilan.
  • Tersedianya dana untuk biaya perkara.

Sifat konflik: Berada dalam kendali (koridor) hukum negara.
Risiko: Jika kalah dalam proses persidangan akan kehilangan harta benda yang dipersengketakan dan kehilangan biaya dan tenaga.

Di Luar Pengadilan

Strategi: Mediasi, negosiasi dan arbitrase.
Dasar pijakan: Secara umum berada dalam pengaturan hukum negara.
Syarat yang harus dipenuhi:

  • Memahami aturan hukum negara.
  • Tersedianya orang yang mampu menjadi arbiter, mediator dan negosiator.
  • Tersedianya dana untuk biaya perkara.

Sifat konflik: Secara umum berada dalam pengaruh hukum negara akan tetapi terbuka ruang untuk kesepakatan (kontrak).
Risiko: Jika kalah dalam proses persidangan akan kehilangan harta benda yang dipersengketakan dan kehilangan biaya dan tenaga.

Adat/lokal

Strategi: Sumpah adat, peradilan adat, dll.
Dasar pijakan: Hukum adat dan kesepakatan lokal.
Syarat yang harus dipenuhi:

  • Menguasai aturan hukum dan tata cara adat atau lokal dan tersedianya sarana dan
    prasarana di tingkat lokal.
  • Kolektif dan kreatif.

Sifat konflik: Berada dalam pengaruh hukum-hukum adat dan kebiasaan setempat.
Risiko: Tidak diakui pihak luar.