Perdagangan perempuan dan anak dapat terjadi di dalam negeri maupun lintas negara. Proses terjadinya praktik perdagangan perempuan dan anak dimulai dari tempat tinggal korban. Biasanya para pelaku, calo atau penyalur, terlibat dengan aparat di desa dalam praktik menjual dan memperdagangkan perempuan dan anak untuk mendapatkan keuntungan uang maupun lainnya. Para pelaku ini umunya berasal dari wilayah setempat dan berhubungan langsung atau tak langsung dengan agen tenaga kerja baik yang resmi maupun anggota perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang datang ke tempat asal korban yang akan dieksploitasi ke desa-desa. Banyak dari korban khususnya perempuan yang ditipu dan dijanjikan akan diberi pekerjaan yang baik dengan gaji yang lumayan besar oleh pelaku.

Bentuk perdagangan perempuan beragam, mulai dari pelacuran/pekerja seks, pekerja rumah tangga/pabrik yang tidak dibayar, kawin paksa/kontrak, pengemis, industri pornografi, dan penjualan organ tubuh. Perdagangan perempuan menimbulkan efek luar biasa bagi perempuan yang diperdagangkan. Mereka mendapatkan kekerasan. Perdagangan perempuan melibatkan aktor-aktor pelaku yang membuat perempuan terjerat dalam perdagangan perempuan. Secara umum, tujuan perdagangan anak dibedakan menjadi dua, yaitu untuk tujuan eksploitasi seksual dan untuk tujuan kerja paksa. Namun, di antara dua tujuan di atas, yang paling marak terjadi adalah perdagangan anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Anak-anak yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual akan dieksploitasi dalam bentuk prostitusi anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak.

Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Dalam UU tersebut tidak hanya mengatur pelaku tindak pidana perorangan, tetapi juga yang dilakukan oleh korporasi, penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan, serta kelompok yang terorganisir. Undang-Undang PTPPO memberikan perlindungan terhadap anak dan memberikan perlindungan terhadap anak dan memberikan pidana tambahan bagi pelaku yang melakukan perdagangan anak. Selain itu, dalam UU ini juga mengatur hak dari korban untuk tidak dijerat hukuman bila melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, misalnya menjadi wanita tuna susila atau melakukan kekerasan terhadap pelaku dalam upaya melakukan pembelaan diri.

Perlindungan saksi dan korban perdagangan orang dalam KUHAP sendiri belum memberikan jaminan yang memadai terhadap hak-hak prosedural kepada saksi dan korban karena sebagian besar pasalnya mengatur hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. Misalnya, hak saksi dan korban untuk didampingi advokat dan/atau pendamping lain yang dibutuhkan. Hak pelapor dan hak korban perdagangan orang dalam PTPPO adalah sebagai berikut.

Hak Pelapor

  1. Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
  2. Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya maka kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan,

Hak Korban

  1. Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan;
  2. Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya;
  3. Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa;
  4. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas. Hak tersebut diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapatkan ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban;
  5. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli waris berhak memperoleh restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi dapat berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang;
  6. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang;
  7. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

Cara Korban untuk Mendapatkan Haknya

  1. Hak korban untuk mendapatkan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Permohonan tersebut diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah;
  2. Korban atau ahli warisnya dapat memperoleh restitusi dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di pengadilan tempat perkara diputus.

Perlindungan yang diberikan kepada korban/saksi perdagangan orang, yaitu:

  1. Untuk melindungi saksi dam/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang;
  2. Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi atau korban tindak pidana perdagangan orang;
  3. Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama,maupun sesudah proses pemeriksaan perkara;
  4. Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang maka pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, serta mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara;
  5. Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia;
  6. Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan oranga sehingga memerlukan pertolongan segera maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.