Dengan adanya hukum pertanahan nasional diharapkan terciptanya kepastian hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti dengan penyediaan perangkat hukum tertulis berupa peraturan-peraturan lain di bidang hukum pertanahan nasional yang mendukung kepastian hukum, serta selanjutnya lewat perangkat peraturan yang ada dilaksanakan penegakan hukum berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah efektif. Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah, yaitu:

  1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
  2. Tanah hak pengelolaan;
  3. Tanah wakaf;
  4. Hak milik atas satuan rumah susun;
  5. Hak tanggungan;
  6. Tanah negara.

Membangun hukum pertanahan harus tetap berinduk pada UUPA, sebab UUPA merupakan sumber hukum bagi sumber daya lam. UUPA merupakan produk hukum dari Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh negara demi untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Untuk mengelola dan mengatur penguasaan, pemanfaatan serta pemeliharaan sumber daya alam tersebut maka atas dasar Pasal tersebut dibuat UUPA. Membangun hukum pertanahan yang baik adalah dengan tetap berinduk atau bersumberkan kepada UUPA dan memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan sehingga masyarakat merasakan adanya perlindungan hukum bagi hak kepemilikan atas tanah.

Kebijakan fungsi sosial tanah di Indonesia, mengacu pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tecermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, penguasaan ini dibatasi yaitu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi sosial hak atas tanah dapat ditemukan pada Pasal 6 UUPA. Maksud dari kata dikuasai bukan berarti dimiliki melainkan diberi wewenang melaksanakan hak penguasaan atas bumi, air, dan ruang angkasa karena negara merupakan organisasi kekuasaan tertinggi, negara akan dapat senatiasa mengendalikan dan mengelola fungsi bumi, air dan ruang angkasa untuk kemakmuran rakyat. Konsep negara kesejahteraan sangat mendukung terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konsepsi hak milik atas tanah menurut Pasal 6 UUPA mempunyai fungsi sosial ini tidak terbatas kepada hak milik saja, melainkan juga berlaku bagi semua hak-hak atas tanah lainnya. Fungsi sosial ini berarti, bahwa hak atas tanah apa pun pada seseorang tidak dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan (tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya. apalagi menimbulkan kerugian kepada masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat dengan baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun manfaat bagi masyarakat dan negara.

Dalam Pasal 28G dan 28H UUD 1945 terkandung suatu arahan konstitusi memberikan perhatian yang lebih besar memberikan jaminan dan perlindungan privat/hak individu. Namun, hak individu tersebut meskipun dilindungi dalam Pasal 28G dan 28H UUD 1945 bukan berarti menjadi hak yang mutlak seperti dalam hukum tanah Barat, hak ini dibatasi dengan Pasal 6 UUPA, yang rumusannya bahwa semua hak atas tanah termasuk hak milik mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dalam UUPA tercantum dalam Penjelasan Umum Il angka 3 bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas.

Hak-hak tanah dalam hukum tanah nasional meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut yang bersifat umum, artinya berlaku pada setiap hak atas tanah, dalam Pasal 6 dan Pasal 10 UUPA secara khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan dan mengusahakannya sendiri. Dalam penjelasan umum fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut berarti bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan digunakan atau tidak digunakan semata mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal tersebut menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA juga memperhatikan kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan atau kepentingan masyarakat haruslah saling mengimbangi hingga pada akhirnya tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Demikian telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan di dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis sesuai yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan tersebut Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 Pasal 32 ayat (2) bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dapat menjadi bukti di pengadilan apabila terjadi sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan dapat terjadi apabila dalam penyajian data yuridis dan data fisik tidak dilakukan dengan benar.