Mafia tanah adalah kolusi antara pejabat yang memiliki kewenangan dan orang lain dengan niat jahat untuk membahayakan negara dan masyarakat dengan tujuan menduduki atau menguasai tanah secara ilegal. Mafia tanah dalam menjalankan aksinya cenderung menggunakan cara-cara kejahatan terorganisasi yang paling umum, yaitu pemalsuan surat tanah, melakukan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah, mengadakan perjanjian jahat yang dibuat dalam akta atau pernyataan nyata dengan melibatkan pejabat umum, seperti oknum Notaris/PPAT dan aparat sipil negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional beserta jajarannya ke bawah, serta penegak hukum, seperti hakim. Oknum pelaksana dan penegak hukum dimaksud dapat berkedudukan sebagai bagian dari jaringan kinerja mafia tanah atau mereka hanya menjadi korban dari kinerja mafia tanah.

Maraknya permasalahan di bidang tanah dan mafia tanah juga disebakan oleh masyarakat yang tidak mendaftarkan tanahnya atau lemahnya sikap kehati-hatian masyarakat terhadap sertifikat tanah yang dimiliki dengan memberikan kuasa atau menitipkan kepada orang lain yang kemudian disalahgunakan.

Mafia tanah harus diberantas sedini mungkin dan menjadi tugas besar yang harus segera diselesaikan oleh semua pihak berwenang yang terkait, diantaranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, kepolisian RI, serta setiap elemen pendukung yang akan selalu dilibatkan dalam segala kepentingan permasalahan pertanahan. Tanah sebagai objek konflik merupakan tanah dalam pengertian secara yuridis disebut dengan hak sebagaiman ketentuan dalam Pasal 16 dan Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria, terdiri atas hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan,hak pakai, hak membuka tanah, hak sewa sebagai bangunan, dan hak memanfaatkan hasil hutan. Undang-Undang juga mengharuskan untuk melakukan sertifikasi terhadap penguasaan hak atas tanah sebagai jaminan perlindungan hukum mengenai pertanahan. Pendaftaran tanah merupakan suatu proses yang sangat utama dalam UUPA karena pendaftaran tanah merupakan sebagai proses awal dari terbitnya sebuah bukti kepemilikan yang sah hak atas tanah.

Berdasarkan Pasal 16 Jo. Pasal 53 UUPA bahwasanya kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah dimaksudkan sebagai dengan kejahatan terhadap hak penguasaan tanah yang berisi adanya wewenang dan kewajiban dan/atau larangan terhadap pemiliknya untuk berbuat segala hal yang berhubungan dengan tanah yang dikuasainya. Kejahatan pertanahan dapat diancam pidana sesuai aturan hukum yang berlaku sebab tindakan memperoleh hak atas tanah orang lain yang menyalahi ketentuan hukum atau dengan melawan hukuk seperti pemalsuan surat-surat, penyerobotan tanah, memberikan keterangan palsu, penggelapan tanah dan lain sebagainya merupakan kejahatan pidana pertanahan. Adapun pijakan hukum yang dijadikan dalam mengikat kejahatan mafia tanah dalam melakukan tindak pidana adalah didasari oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 167 KUHP tentang Memasuki Perkarangan Tanpa Izin yang Berhak, Pasal 263 KUHP adalah pemalsuan surat, Pasal 242 KUHP tentang kejahatan terhadap pemberian sumpah palsu dan keterangan palsu, Pasal 264 KUHP adalah pemalsuan terhadap akta autentik, Pasal 372 KUHP adalah penggelapan, Pasal 378 KUHP adalah penipuan, dan Pasal 385 KUHP adalah penggelapan hak atas tanah barang-barang bergerak/penyerobotan tanah.

Pada Pasal 263-268 KUHP mengatur tentang Pemalsuan Surat yang merugikan atau merugikan orang lain. Pasal 263 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa vonis pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 KUHP menyatakan bahwa vonis pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. Dengan demikian, kejahatan pertanahan yang dilakukan oleh mafia tanah dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana apabila terbukti melakukan pemalsuan dokumen dengan maksud memiliki dan menguasai hak tanah orang lain.