Kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia tidak hanya terjadi di daerah-daerah yang rawan konflik, tetapi juga di tempat-tempat yang seharusnya memberikan perlindungan, seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan fasilitas kesehatan, seperti ruang pemeriksaan pasien. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga bukan hanya orang asing yang tidak dikenal, melainkan seringkali orang-orang yang dekat, dikenal, dan dipercaya oleh anak. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak berada dalam posisi yang sangat rentan dan keselamatan mereka terancam di hampir semua aspek kehidupan sosial.

Terdapat beberapa jenis kekerasan yang dapat dialami oleh anak, antara lain:

  1. Kekerasan fisik: Meliputi tindakan seperti tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lemparan benda, meludahi, mencubit, merusak barang, membotaki, pengeroyokan, memaksa melakukan push-up secara berlebihan, menjemur anak di bawah sinar matahari, memaksa membersihkan toilet, lari keliling lapangan yang tidak sesuai dengan kemampuan anak, menyundut rokok, dan berbagai bentuk kekerasan fisik lainnya.
  2. Kekerasan verbal: Termasuk tindakan seperti mencaci maki, mengejek, memberi julukan atau label buruk, mencela, memanggil anak dengan menyebut nama orang tuanya, mengumpat, memarahi secara berlebihan, meledek, mengancam, dan lainnya.
  3. Kekerasan psikis: Meliputi pelecehan seksual, memfitnah, mengucilkan, mendiamkan, mencibir, menghina, serta menyebarkan gosip yang merugikan anak.

Jenis-jenis kekerasan ini menunjukkan berbagai bentuk penganiayaan yang bisa menimpa anak, baik secara fisik, verbal, maupun psikis, yang dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan mereka.

Finkelhor dan Browne mengidentifikasi empat jenis dampak trauma yang dialami anak-anak akibat kekerasan seksual, yaitu:

  1. Pengkhianatan (Betrayal): Kepercayaan adalah elemen dasar bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak, mereka biasanya memiliki kepercayaan yang mendalam terhadap orang tua, yang seharusnya dipahami dan dihargai. Namun, ketika kepercayaan tersebut dikhianati oleh orang yang seharusnya melindungi mereka, seperti orang tua atau figur otoritas lainnya, hal itu justru menjadi ancaman bagi anak.
  2. Trauma Seksual (Traumatic Sexualization): Perempuan yang mengalami kekerasan seksual sering kali menghindari hubungan seksual, dan akibatnya bisa menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Korban kekerasan seksual cenderung memilih pasangan sesama jenis karena merasa laki-laki tidak dapat dipercaya.
  3. Perasaan Tidak Berdaya (Powerlessness): Korban sering kali terjebak dalam rasa takut yang mengganggu kehidupannya, termasuk mengalami mimpi buruk, fobia, kecemasan, dan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya ini membuat mereka merasa lemah dan tidak efektif dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa korban mungkin juga merasakan sakit fisik, sementara yang lain bisa mengalami dorongan berlebihan yang tidak terkendali .
  4. Stigmatisasi (Stigmatization): Anak yang menjadi korban kekerasan seksual sering merasa bersalah, malu, dan memiliki pandangan negatif tentang diri mereka sendiri. Perasaan bersalah dan malu muncul karena ketidakberdayaan mereka dan keyakinan bahwa mereka tidak memiliki kendali atas tubuh dan kehidupannya.

Meskipun secara fisik korban kekerasan seksual mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda yang terlihat, dampak psikologis yang ditimbulkan bisa sangat berat, seperti ketergantungan, trauma, pelampiasan dendam, dan sebagainya. Pengalaman ini dapat mempengaruhi perkembangan, kematangan, dan kemampuan anak untuk mandiri di masa depan, serta cara mereka memandang dunia dan masa depan mereka secara umum.

Perlindungan hukum terhadap kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal bagi anak dan memastikan pelaku kejahatan dapat diadili dengan adil. Beberapa aspek hukum yang terkait dengan perlindungan anak dari kekerasan seksual antara lain:

  • Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat anak sebagai bagian dari warga negara yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum juga mengatur perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan seksual. Tindak pidana kesusilaan diatur dalam Bab XIV, yang mencakup Pasal 287, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, dan Pasal 296 KUHP. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dijatuhi hukuman penjara dengan durasi antara 9 bulan hingga 7 tahun, serta pidana denda yang dapat mencapai Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur secara rinci mengenai hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
  • Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 memperkuat dan memperluas perlindungan terhadap anak, termasuk menjamin hak anak atas kehidupan, tumbuh kembang, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 76D melarang setiap bentuk kekerasan fisik, mental, dan seksual terhadap anak serta mengatur hukuman yang lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, termasuk hukuman penjara dan denda yang lebih tinggi. Serta, Pasal 81-82 yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dengan ancaman hukuman yang lebih berat bagi pelaku yang memanfaatkan posisi atau kedekatannya dengan anak.
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Undang-Undang ini khusus diatur untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Pasal 6 dalam UU TPKS menetapkan bahwa setiap bentuk kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana yang harus dikenakan sanksi pidana yang berat. UU ini juga memberikan perlindungan terhadap korban, termasuk hak untuk mendapatkan rehabilitasi psikologis dan medis, serta perlindungan hukum yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban.

Dalam Undang-Undang tersebut hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat sangat berat, termasuk hukuman penjara jangka panjang, denda, dan bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus tertentu, seperti jika pelaku melakukan kekerasan seksual secara berulang atau menyebabkan korban meninggal dunia.

Regulasi terkait perlindungan terhadap korban kekerasan seksual telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang mencakup ketentuan tentang perlindungan korban kekerasan seksual, termasuk kejahatan seksual, serta upaya untuk memberikan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan seksual. Meskipun kebijakan yang ada saat ini belum sepenuhnya memadai dalam memberikan perhatian kepada korban, terutama dalam hal pemulihan psikologis dan fisik.