Pada sebelum tahun 1990-an, pembagian waris secara Islam dibuat oleh Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Namun demikian, pada awal 1990 terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Agama Fatwa Waris untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam dalam hal tidak terjadi sengketa waris. Lantas, siapakah yang berhak membuat Keterangan Waris bagi pewaris yang beragama Islam?
Keterangan Waris bagi pewaris yang beragama Islam cukup dibuat di bawah tangan dengan dengan disahkan oleh lurah dan dikuatkan oleh camat setempat. Untuk membuat Surat Keterangan Ahli Waris, ada beberapa langkah yang harus dilalui sebelum mendapatkan tanda tangan atau persetujuan dari kelurahan, yaitu sebagai berikut.
- Memastikan bahwa RT dan RW setempat mengetahui dan mengkonfirmasi bahwa pemohon benar-benar merupakan ahli waris sah dari almarhum karena RT dan RW adalah orang yang paling dekat dengan warganya dan memiliki pengetahuan mendalam tentang seluk-beluk keluarga setempat.
- Mengajukan permohonan ke kantor kelurahan. Di kantor kelurahan, pihak kelurahan akan memeriksa kelengkapan syarat-syarat yang diperlukan. Jika semua persyaratan telah dipenuhi, Lurah memiliki kewenangan untuk menandatangani pernyataan yang diajukan oleh pemohon. Setelah itu, kelurahan akan menyerahkan Surat Keterangan Waris kepada pemohon.
Keterangan Waris yang dibuat di bawah tangan dan disahkan oleh lurah, serta diperkuat oleh camat tidak menetapkan jumlah/bagian para ahli waris. Akibatnya, tidak jarang terjadi Keterangan Waris dibuat tanpa adanya penelitian sama sekali sehingga tidak diketahui secara pasti jumlah ahli waris seorang pewaris yang sebenarnya. Misalnya, seorang pewaris yang memiliki istri lebih dari satu, sang istri dapat membuat sendiri-sendiri Keterangan Warisnya. Dengan demikian, setiap ahli waris dapat menjual sendiri harta waris tanpa melibatkan ahli waris lainnya. Kondisi ini mengakibatkan sering terjadinya sengketa waris karena Keterangan Waris yang tumpang tindih.
Banyaknya gugatan masalah Keteranga Waris yang keliru, akhir-akhir ini lurah dan camat ramai-ramai menolak versi surat pernyataan para ahli waris tersebut. Jadi, kalimat yang seharusnya berbunyi: lurah “menyaksikan dan membenarkan” dari pada bagian camat “menguatkan” (pernyataan lurah tersebut), diganti menjadi: “mengetahui” atau “menyatakan benar bahwa ahli waris nomor 3 adalah warga kami.” Artinya, posisi lurah dan camat hanya mendaftarkan surat yang sudah ditandatangani sebelumnya oleh ahli waris.
Problem lain dalam pembuatan Surat Keterangan Waris adalah tidak dilakukannya pengecekan wasiat terlebih dahulu oleh para ahli waris sebelum pernyataan ahli waris dibuat secara bawah tangan. Oleh karena itu, jika si pewaris ternyata pernah membuat wasiat secara diam-diam, hal tersebut tidak akan pernah diketahui oleh ahli waris lain sehingga pewarisan berdasarkan Surat Keterangan Waris untuk pribumi hampir selalu berdasarkan Undang-Undang tanpa mempertanyakan ada atau tidaknya wasiat dari pewaris.
Kondisi tersebut dapat menyeret notaris/PPAT yang membuat Akta Peralihan Hak Waris seorang ahli waris kepada orang dengan nama-nama yang tercantum dalam Surat Pernyataan Ahli Waris, menjadi turut tergugat dalam kasus-kasus peralihan hak waris. Alasannya, posisi notaris benar-benar bergantung pada kejujuran para ahli waris yang hadir dan melakukan peralihan hak. Oleh karena itu, penting bagi para notaris/PPAT untuk mencantumkan kalimat berikut dalam Akta Peralihan Haknya:
Para penghadap menjamin bahwa tidak ada ahli waris lain selain orang-orang yang namanya disebutkan dalam komparisi akta ini, serta menjamin tidak pernah ada wasiat yang belum dijalankan. Dalam hal ternyata ada ahli waris lain selain mereka maka hal itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab para ahli waris sendiri dan karenanya melepaskan notaris/PPAT serta para saksi dari segala tuntutan dan/atau gugatan sehubungan dengan hal tersebut.
Pihak yang berhak membuat Keterangan Waris Pribumi sebaiknya memang dikembalikan kepada kewenangan Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Hal ini setidaknya memberikan entry barrier atau hambatan bagi orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku sebagai ahli waris agar bisa mendapatkan hak atas suatu warisan.